Kasus Posisi
Petugas instalasi pengelola limbah (IPL) RSSA Malang, Rudi Setiono, tertangkap basah melakukan praktik jual-beli limbah medis rumah sakit dengan lima orang pembeli limbah rumah sakit tersebut. Padahal seharusnya limbah itu di daur ulang atau dimusnahkan. Dalam keterangannya pada polisi dia mengaku bahwa praktek penjualan limbah itu atas perintah dari atasannya Daryono selaku kepala IPL RSSA serta Saiful Anwar selaku dirut RSSA. Penjualan itu diketahui oleh manajemen RSSA Malang sudah bertahun-tahun. Dari hasil penangkapan itu polisi mengamankan barang bukti berupa 57,5 kg botol plastik bekas tempat infus, 50 kg botol kaca bekas obat suntik, 50 kg selang plastik untuk infus, 29 kg alat suntik bekas tanpa jarum. Diketahui hasil penjualan limbah tersebut dibagi rata antara petugas pengangkutan, operator IPL RSSA dan sisanya dijadikan pemasukan dalam kas daur ulang IPL.
Fakta Hukum
• Rudi Setiono (petugas IPL RSSA) menjual limbah medis tanpa di daur ulang kepada 5 pengepul (Pembeli).
• Pembeli limbah lima orang.
• Rudi Setiono (petugas IPL RSSA), dan operator IPL RSSA menyatakan bahwa penjualan limbah tersebut atas perintah dari atasan mereka dan diketahui oleh manajemen RSSA.
Sumber Hukum
1. UUD 1945
2. UU No. 23 / 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. PP No. 18 / 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun jo PP No. 85/ 1999 tentang Perubahan atas PP No. 18/1999
4. Kitab Undang – undang Hukum Pidana
Isu Hukum
1. Apakah Limbah Medis dapat diperjual belikan tanpa di daur ulang?
2. Bagaimana penegakan hukum terhadap kasus tersebut?
3. Siapakah yang bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang terjadi?
Analisa Hukum
1. Limbah medis termasuk limbah B3 jadi tidak boleh diperjual-belikan
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 12 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 18 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga PP No.18/1999 jo PP No. 85/1999 bahwa Limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Limbah yang diperjual belikan oleh RSSA adalah limbah rumah sakit, yang secara wujud dapat berbentuk padat, cair, maupun gas dan partikulat. Karakteristiknyapun ada yang tergolong sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) maupun yang non-B3. Menurut PP No. 18 / 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun jo PP No. 85/ 1999 tentang Perubahan atas PP No. 18/1999 dalam lampiran I menyatakan bahwa limbah Rumah Sakit termasuk dalam daftar limbah B3 dari sumber yang spesifik dengan kode D227 yang sumber pencemaranya berasal dari seluruh Rumah Sakit (berarti RSSA merupakan penghasil limbah B3) dan Laboratorium Klinik dengan asal/uraian limbah sebagai berikut :
- Limbah klinis
- Produk farmasi kadaluarsa
- Peralatan lab terkontaminasi
- Kemasan produk farmasi
- Limbah laboratorium
- Residu dari proses insinerasi
Dan, pencemaran utamanya : Limbah terinfeksi, Residu produk farmasi, Bahan-bahan kimia.
Jadi limbah RSSA termasuk B3. menurut ketentuan pasal 43 ayat (1) UUPLH :
“Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”
Karena rumusan delik tersebut adalah rumusan delik formil, dimana tidak perlu memerlukan akibat atau dampak dari adaya perbuatan. Unsur-unsur perbuatan pidana pencemaran lingkungan hidup dalam pasal 43 ayat (1) UU Pengelolaan Lingkungan Hidup :
1. Barang siapa
Bahwa yang dimaksud “Barang Siapa” dalam kasus ini adalah “orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan / atau badan hukum” sesuai dengan pasal 1 angka 24 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Rumah Sakit Saiful Anwar merupakan dinas atau instansi pemerintah dan bentuknya adalah badan hukum. Maka unsur angka 1 terpenuhi
2. Melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Ketentuan perundang – undangan yang dilanggar adalah Pasal 3 PP No. 18 / 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun jo PP No. 85/ 1999 tentang Perubahan atas PP No. 18/1999 yang berisi : Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Ketentuan inilah yang dilanggar oleh pelaku, yaitu melepaskan limbah atau memperjual-belikan limbah ke masyarakat tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Dan dalam ketentuan PP tersebut pasal 63 penjatuhan pidananya menunjuk pasal 43 UU No.23/1997. Limbah B3 tidak boleh diperdagangkan (a contrario)
3. Sengaja
Unsur ini dapat dikaitkan dengan teori pengetahuan dan teori kehendak. Namun dalam kasus ini, unsur sengaja dapat dibuktikan dengan teori pengetahuan yaitu bahwa, pelaku patut diduga telah mengetahui bahwa melakukan perdagangan atau melepaskan limbah tersebut ke lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, maka unsur angka 3 terpenuhi
4. Melepaskan atau membuang zat , energy dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ( limbah B3)
Bahwa, pelaku telah melepaskan limbah rumah sakit, limbah rumah sakit itu termasuk limbah B3 ( sesuai analisis limbah B3 nomor 3 diatas) ke lingkungan yaitu ke orang lain dengan cara diperdagangkan kepada pengepul
5. Mengetahui atau sangat beralasan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
Bahwa sebagai pelaku adalah bergerak dibidang kesehatan yang jelas mengetahui kandungan – kandungan zat kimia yang terdapat dalam limbah yang sifatnya berbahaya yang dibuang serta dampak bagi lingkungan jika limbah tersebut dilepaskan ke lingkungan dan dampak bagi kesehatan masyarakat jika limbah tersebut beredar di masyarakat. Misalnya pemakaian alat suntik, yang hanya digunakan sekali pakai, jika dibuang sembarangan akan menimbulkan dampak yang sangat rentan yaitu jarum suntik yang dibuang sembarangan menjadi media menularnya penyakit yang diderita oleh orang yang dirawat di RS Saiful Anwar.
Dari sini dapat diketahui bahwa pelaku dapat dijerat dengan pasal 43 UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan tidak boleh menjual-belikan limbah B3.
2. Upaya penegakan hukum dapat ditempuh dengan cara yang sesuai UU No 23/1997 yaitu :
• Upaya penegakan hukum lingkungan secara administratif
• Upaya penegakan hukum lingkungan secara pidana
• Penyelesaian sengketa, ganti rugi apabila ada korban
Penegakan hukum lingkungan administratif dapat dilakukan dengan cara :
1. Dapat dilakukan bestuurdwang (paksaan pemerintahan) yang dilakukan oleh Gubenur/ Kepala Daerah Tingkat I sesuai pasal 25 ayat 1 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang berisi :
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
Ini merupakan bentuk pengawasan dari Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, sehingga yang bisa melakukan berstuurdwang disini adalah pemprov/Gubernur Jawa Timur terhadap pihak Rumah Sakit Saiful Anwar.
2. Dapat dilakukan dwangsom (uang paksa) oleh Gubenur/kepala daerah tingkat I sesuai dengan pasal 25 ayat 5 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yang berisi :
Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.
Jadi dalam rangka upaya penegakan hukum represif, pemerintah / gubernur Jawa Timur berwenang untuk memaksa pihak Rumah Sakit Syaiful Anwar untuk membayar uang paksa.
3. Dapat dilakukan pencabutan izin bagi Rumah Sakit tersebut, sesuai dengan pasal 27 ayat 1 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang berisi :
Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan
4. Dapat dilakukan Penghentian sementara alat penyimpanan, pengumpulan dan pengolahan limbah B3 yang ada di dalam rumah sakit saiful anwar tersebut. Ini sesuai dengan PP No. 18/1999 jo PP No.85/1999 dilakukan oleh instansi yang berwenang yaitu Menteri Negara Lingkungan Hidup.
3. Mengenai siapa yang bertanggung jawab adalah :
1. Rudi Setiono (petugas IPL RSSA), operator IPL RSSA, dan petugas pengangkutan, yang melakukan penjualan limbah B3. Juga bagian kas daur ulang RSSA yang mengetahui bahwa keuntungan hasil penjualan tersebut adalah berasal dari penjualan limbah (disebut pihak Penjual). serta lima orang pembeli/pengepul limbah tersebut, mereka dikenai pasal 43 UU No. 23/1997 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang – undang Hukum Pidana, karena pembeli tersebut turut serta melakukan perbuatan jual beli limbah B3.
2. Pihak Rumah Sakit Saiful Anwar yang diwakili oleh Saiful Anwar yang dalam hal ini dapat dikenakan pasal 45 UU No. 23/1997 karena Rumah Sakit tersebut mengetahui Dan memerintahkan penjualan limbah, dapat dipidana denda dengan diperberat sepertiga. Yaitu dapat diancam pidana denda sebesar Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dan ancaman pidana sesuai dengan pasal 46 UU No.23/1997 bagi saiful anwar.
KESIMPULAN
Dari analisa kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa Apabila limbah medis tersebut diperjualbelikan dan beredar dalam masyarakat dapat menimbulkan pencemaran, kerusakan lingkungan dapat membahayakan lingkungan, kesehatan manusia dan makhluk hidup lain. Karena limbah medis termasuk dalam limbah B3 Dan tidak boleh di perjual – belikan. Oleh karena itu sanksi hukum Administrasi maupun Pidana siap menanti bagi para pelaku jual-beli limbah tersebut.
Published by dhanajournal.blogspot.com
Petugas instalasi pengelola limbah (IPL) RSSA Malang, Rudi Setiono, tertangkap basah melakukan praktik jual-beli limbah medis rumah sakit dengan lima orang pembeli limbah rumah sakit tersebut. Padahal seharusnya limbah itu di daur ulang atau dimusnahkan. Dalam keterangannya pada polisi dia mengaku bahwa praktek penjualan limbah itu atas perintah dari atasannya Daryono selaku kepala IPL RSSA serta Saiful Anwar selaku dirut RSSA. Penjualan itu diketahui oleh manajemen RSSA Malang sudah bertahun-tahun. Dari hasil penangkapan itu polisi mengamankan barang bukti berupa 57,5 kg botol plastik bekas tempat infus, 50 kg botol kaca bekas obat suntik, 50 kg selang plastik untuk infus, 29 kg alat suntik bekas tanpa jarum. Diketahui hasil penjualan limbah tersebut dibagi rata antara petugas pengangkutan, operator IPL RSSA dan sisanya dijadikan pemasukan dalam kas daur ulang IPL.
Fakta Hukum
• Rudi Setiono (petugas IPL RSSA) menjual limbah medis tanpa di daur ulang kepada 5 pengepul (Pembeli).
• Pembeli limbah lima orang.
• Rudi Setiono (petugas IPL RSSA), dan operator IPL RSSA menyatakan bahwa penjualan limbah tersebut atas perintah dari atasan mereka dan diketahui oleh manajemen RSSA.
Sumber Hukum
1. UUD 1945
2. UU No. 23 / 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. PP No. 18 / 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun jo PP No. 85/ 1999 tentang Perubahan atas PP No. 18/1999
4. Kitab Undang – undang Hukum Pidana
Isu Hukum
1. Apakah Limbah Medis dapat diperjual belikan tanpa di daur ulang?
2. Bagaimana penegakan hukum terhadap kasus tersebut?
3. Siapakah yang bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang terjadi?
Analisa Hukum
1. Limbah medis termasuk limbah B3 jadi tidak boleh diperjual-belikan
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 12 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 18 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga PP No.18/1999 jo PP No. 85/1999 bahwa Limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Limbah yang diperjual belikan oleh RSSA adalah limbah rumah sakit, yang secara wujud dapat berbentuk padat, cair, maupun gas dan partikulat. Karakteristiknyapun ada yang tergolong sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) maupun yang non-B3. Menurut PP No. 18 / 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun jo PP No. 85/ 1999 tentang Perubahan atas PP No. 18/1999 dalam lampiran I menyatakan bahwa limbah Rumah Sakit termasuk dalam daftar limbah B3 dari sumber yang spesifik dengan kode D227 yang sumber pencemaranya berasal dari seluruh Rumah Sakit (berarti RSSA merupakan penghasil limbah B3) dan Laboratorium Klinik dengan asal/uraian limbah sebagai berikut :
- Limbah klinis
- Produk farmasi kadaluarsa
- Peralatan lab terkontaminasi
- Kemasan produk farmasi
- Limbah laboratorium
- Residu dari proses insinerasi
Dan, pencemaran utamanya : Limbah terinfeksi, Residu produk farmasi, Bahan-bahan kimia.
Jadi limbah RSSA termasuk B3. menurut ketentuan pasal 43 ayat (1) UUPLH :
“Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”
Karena rumusan delik tersebut adalah rumusan delik formil, dimana tidak perlu memerlukan akibat atau dampak dari adaya perbuatan. Unsur-unsur perbuatan pidana pencemaran lingkungan hidup dalam pasal 43 ayat (1) UU Pengelolaan Lingkungan Hidup :
1. Barang siapa
Bahwa yang dimaksud “Barang Siapa” dalam kasus ini adalah “orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan / atau badan hukum” sesuai dengan pasal 1 angka 24 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Rumah Sakit Saiful Anwar merupakan dinas atau instansi pemerintah dan bentuknya adalah badan hukum. Maka unsur angka 1 terpenuhi
2. Melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Ketentuan perundang – undangan yang dilanggar adalah Pasal 3 PP No. 18 / 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun jo PP No. 85/ 1999 tentang Perubahan atas PP No. 18/1999 yang berisi : Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Ketentuan inilah yang dilanggar oleh pelaku, yaitu melepaskan limbah atau memperjual-belikan limbah ke masyarakat tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Dan dalam ketentuan PP tersebut pasal 63 penjatuhan pidananya menunjuk pasal 43 UU No.23/1997. Limbah B3 tidak boleh diperdagangkan (a contrario)
3. Sengaja
Unsur ini dapat dikaitkan dengan teori pengetahuan dan teori kehendak. Namun dalam kasus ini, unsur sengaja dapat dibuktikan dengan teori pengetahuan yaitu bahwa, pelaku patut diduga telah mengetahui bahwa melakukan perdagangan atau melepaskan limbah tersebut ke lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, maka unsur angka 3 terpenuhi
4. Melepaskan atau membuang zat , energy dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ( limbah B3)
Bahwa, pelaku telah melepaskan limbah rumah sakit, limbah rumah sakit itu termasuk limbah B3 ( sesuai analisis limbah B3 nomor 3 diatas) ke lingkungan yaitu ke orang lain dengan cara diperdagangkan kepada pengepul
5. Mengetahui atau sangat beralasan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
Bahwa sebagai pelaku adalah bergerak dibidang kesehatan yang jelas mengetahui kandungan – kandungan zat kimia yang terdapat dalam limbah yang sifatnya berbahaya yang dibuang serta dampak bagi lingkungan jika limbah tersebut dilepaskan ke lingkungan dan dampak bagi kesehatan masyarakat jika limbah tersebut beredar di masyarakat. Misalnya pemakaian alat suntik, yang hanya digunakan sekali pakai, jika dibuang sembarangan akan menimbulkan dampak yang sangat rentan yaitu jarum suntik yang dibuang sembarangan menjadi media menularnya penyakit yang diderita oleh orang yang dirawat di RS Saiful Anwar.
Dari sini dapat diketahui bahwa pelaku dapat dijerat dengan pasal 43 UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan tidak boleh menjual-belikan limbah B3.
2. Upaya penegakan hukum dapat ditempuh dengan cara yang sesuai UU No 23/1997 yaitu :
• Upaya penegakan hukum lingkungan secara administratif
• Upaya penegakan hukum lingkungan secara pidana
• Penyelesaian sengketa, ganti rugi apabila ada korban
Penegakan hukum lingkungan administratif dapat dilakukan dengan cara :
1. Dapat dilakukan bestuurdwang (paksaan pemerintahan) yang dilakukan oleh Gubenur/ Kepala Daerah Tingkat I sesuai pasal 25 ayat 1 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang berisi :
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
Ini merupakan bentuk pengawasan dari Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, sehingga yang bisa melakukan berstuurdwang disini adalah pemprov/Gubernur Jawa Timur terhadap pihak Rumah Sakit Saiful Anwar.
2. Dapat dilakukan dwangsom (uang paksa) oleh Gubenur/kepala daerah tingkat I sesuai dengan pasal 25 ayat 5 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yang berisi :
Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.
Jadi dalam rangka upaya penegakan hukum represif, pemerintah / gubernur Jawa Timur berwenang untuk memaksa pihak Rumah Sakit Syaiful Anwar untuk membayar uang paksa.
3. Dapat dilakukan pencabutan izin bagi Rumah Sakit tersebut, sesuai dengan pasal 27 ayat 1 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang berisi :
Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan
4. Dapat dilakukan Penghentian sementara alat penyimpanan, pengumpulan dan pengolahan limbah B3 yang ada di dalam rumah sakit saiful anwar tersebut. Ini sesuai dengan PP No. 18/1999 jo PP No.85/1999 dilakukan oleh instansi yang berwenang yaitu Menteri Negara Lingkungan Hidup.
3. Mengenai siapa yang bertanggung jawab adalah :
1. Rudi Setiono (petugas IPL RSSA), operator IPL RSSA, dan petugas pengangkutan, yang melakukan penjualan limbah B3. Juga bagian kas daur ulang RSSA yang mengetahui bahwa keuntungan hasil penjualan tersebut adalah berasal dari penjualan limbah (disebut pihak Penjual). serta lima orang pembeli/pengepul limbah tersebut, mereka dikenai pasal 43 UU No. 23/1997 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang – undang Hukum Pidana, karena pembeli tersebut turut serta melakukan perbuatan jual beli limbah B3.
2. Pihak Rumah Sakit Saiful Anwar yang diwakili oleh Saiful Anwar yang dalam hal ini dapat dikenakan pasal 45 UU No. 23/1997 karena Rumah Sakit tersebut mengetahui Dan memerintahkan penjualan limbah, dapat dipidana denda dengan diperberat sepertiga. Yaitu dapat diancam pidana denda sebesar Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dan ancaman pidana sesuai dengan pasal 46 UU No.23/1997 bagi saiful anwar.
KESIMPULAN
Dari analisa kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa Apabila limbah medis tersebut diperjualbelikan dan beredar dalam masyarakat dapat menimbulkan pencemaran, kerusakan lingkungan dapat membahayakan lingkungan, kesehatan manusia dan makhluk hidup lain. Karena limbah medis termasuk dalam limbah B3 Dan tidak boleh di perjual – belikan. Oleh karena itu sanksi hukum Administrasi maupun Pidana siap menanti bagi para pelaku jual-beli limbah tersebut.
Published by dhanajournal.blogspot.com
No comments:
Post a Comment