July 5, 2009

Mengapa Filsafat Hukum Tidak Menarik?


Setiap mahasiswa yang telah menempuh mata kuliah filsafat hukum pada umumnya menyatakan bahwa mata kuliah itu membingungkan, di awang-awang, abstrak, tidak menarik, menjemukan, dan sukar. Mereka tidak mengetahui untuk apa mereka harus belajar mata kuliah itu. Mereka menempuh filsafat hukum karena merupakan mata kuliah wajib. Andaikata bukan mata kuliah wajib, tentu hanya mereka yang suka merenung saja yang mengambil mata kuliah itu atau barangkali mata kuliah itu tidak diselenggarakan karena hanya sedikit yang memilihnya. Alhasil, mereka menempuh filsafat hukum hanya karena keterpaksaan saja sebagai pemanis dalam menggapai sarjana hukum. Setelah lulus, yang mereka ingat paling-paling nama-nama Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, dll. dan aliran-aliran utilitarianisme, naturalisme, dll. Akan tetapi untuk apa aliran-aliran ini dalam praktik hukum dan dalam konteks apakah fikiran para pemikir itu dapat diterapkan mereka tidak mengerti. Yang penting lulus dan bekerja atau berprofesi. Bahkan kalau perlu tidak harus lulus, melainkan lolos dengan nilai D untuk filsafat hukum, mereka sudah gembira.

Ternyata, dengan nilai filsafat hukum pas-pasan atau bahkan hanya lolos dengan nilai D tidak sedikit yang sukses dalam melakukan profesinya sebagai sarjana hukum, baik sebagai lawyer, in-house lawyer, jaksa, maupun hakim. Bukan itu saja, tidak sedikit juga profesor doktor yang nilai filsafat hukumnya pas-pasan atau hanya lolos dengan nilai D. Mereka ini adalah orang-orang brilian tetapi mengapa mata kuliah filsafatnya tidak mendapat nilai yang baik? Kenyataan ini merupakan terjemahan apa?

Kemungkinan pertama dan paling ekstrem adalah filsafat hukum tidak ada gunanya. Jika memang demikian, untuk apa mata kuliah itu ditawarkan? Jawaban klasik yang selalu dilontarkan adalah “Sejak dahulu mata kuliah itu harus ditempuh oleh calon sarjana hukum sehingga tidak mungkin dihilangkan.” Jawaban semacam itu lebih bersifat ritual dari pada argumentatif akademis sehingga kira-kira sama dengan tidak beraninya suatu komunitas tertentu menghilangkan tradisi wayangan karena takut kualat.

Kemungkinan kedua adalah mata kuliah filsafat hukum bukan merupakan instrumen untuk memprediksi kecerdasan seseorang sebagaimana matematika. Mereka yang matematikanya kuat adalah orang-orang yang cerdas karena mampu mendayagunakan logika mereka. Filsafat adalah scientia rerum per causas ultimas atau terjemahannya pengetahuan mengenai hal-ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam. Apabila ditilik dari pengertian tersebut, filsafat seharusnya sama dengan matematika sebagai alat untuk memprediksi kecerdasan seseorang.

Jika filsafat hukum yang diajarkan di fakultas hukum saat ini memang tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk memprediksi kecerdasan calon sarjana hukum, niscaya ada yang salah dengan mata kuliah itu. Kesalahan itu terletak pada isi kandungan mata kuliah itu tidak sesuai dengan hakikat filsafat sebagai scientia rerum per causas ultimas. Jika pengertian itu diikuti, filsafat hukum akan mempunyai pengertian sebagai pengetahuan mengenai hal-ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam tentang adanya hukum. Dengan demikian, isi kandungan mata kuliah filsafat hukum adalah dasar ontologis atau teori tentang adanya hukum di bidang kehidupan tertentu baik hukum tertulis maupun tidak tertulis, ratio legis adanya ketentuan tertentu perundang-undangan, hubungan antara negara dan individu, hubungan antara individu dengan individu dalam hidup bermasyarakat dalam bingkai negara, prinsip-prinsip hukum, masalah legitimasi aturan hukum, dan nilai-nilai yang harus dijawab oleh hukum (axiology). Jika bukan pokok-pokok itu yang menjadi isi kandungan filsafat hukum, di situ letak kesalahan mengapa mata kuliah itu tidak mampu sebagai alat prediksi bagi kemampuan calon sarjana hukum. Akan tetapi jika pokok-pokok itu yang menjadi isi kandungan mata kuliah filsafat hukum, hanya mereka yang duduk di semester akhir atau satu semester sebelum semester akhir yang mampu mengambil mata kuliah itu sebab mereka telah belajar baik hukum materiil maupun hukum formilnya dari setiap lapangan hukum. Namun demikian, tidak semua isi kandungan mata kuliah filsafat hukum relevan dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan fakultas hukum stratum satu (S-1) yang menghasilkan practitioner jurists. Masalah-masalah yang bersifat aksiologis dan prinsip-prinsip hukum bukan porsi stratum satu (S-1). Begitu pula stratum dua (S-2) yang sebenarnya merupakan peningkatan keahlian yuris, mereka tidak membutuhkan masalah-masalah yang bersifat aksiologis maupun prinsip-prinsip hukum. Masalah-masalah yang bersifat aksiologis dan prinsip-prinsip hukum adalah porsi bagi mereka yang ingin menulis disertasi hukum. Lalu, untuk S-2 hukum apakah perlu filsafat hukum? Tidak perlu, karena mereka telah mempelajarinya pada saat S-1. Yang lebih mereka butuhkan adalah teori hukum/ilmu hukum yang dalam bahasa Inggris-nya jurisprudence karena dalam penulisan tesis, mereka harus membangun suatu teori.

Akan tetapi untuk mengajarkan isi kandungan mata kuliah filsafat hukum yang relevan bagi mahasiswa stratum satu (S-1) perlu dosen bukan hanya yang mampu berteori saja, melainkan juga yang tahu tentang praktik hukum. Tidak dapat disangkal, pada saat sekarang ini, pada banyak fakultas hukum di Indonesia, isi kandungan filsafat hukum yang diajarkan jauh dari apa yang telah dikemukakan. Lebih-lebih setelah berakhirnya periode ujian negara tahun 1990-an, kontrol dari fakultas hukum pembina sudah tidak ada sehingga mata kuliah filsafat hukum hanya merupakan pelengkap penyerta, hanya sekadar memenuhi kurikulum nasional. Isi kandungan mata kuliah yang diajarkan oleh seorang dosen merupakan bahan-bahan yang diperoleh dari dosennya dan dosen ini mendapatkan dari dosennya pula dan begitulah seterusnya. Dosen semacam itu tidak mengerti kegunaan praktis filsafat hukum. Oleh karena itulah ia tidak mampu memberitahu mahasiswa untuk apa belajar filsafat hukum dan mana yang relevan untuk dipelajari. Alhasil, ada atau tidak ada filsafat hukum, tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap kesarjanaan hukum lulusan fakultas hukum.

Jika demikian, tidak sebaiknya dihilangkan saja mata kuliah itu dari kurikulum nasional fakultas hukum? Barangkali kalau saja mata kuliah itu dihilangkan, para mahasiswa hukum akan bersorak gembira karena tidak masuk ke ladang penyiksaan selama satu semester. Sedangkan di lain fihak, tidak berpengaruh apa-apa terhadap kesarjanaannya.

Tentu saja penempatan mata kuliah filsafat hukum di fakultas hukum stratum 1 (S-1) bukan tanpa dasar pemikiran yang kuat. Gagasannya adalah setelah menempuh mata kuliah itu, diharapkan setelah lulus menjadi sarjana hukum, mereka mampu menerapkan aturan-aturan hukum atau membuat naskah akademis atau kontrak atau memecahkan masalah-masalah hukum secara memadai. Gagasan itu menempatkan filsafat hukum sebagai instrumen untuk memprediksi kecerdasan calon sarjana hukum. Di samping itu filsafat hukum juga dimaksudkan sebagai pisau analisis untuk memecahkan masalah-masalah hukum. Bagi mereka yang pernah belajar Marxisme, akan terasa bahwa historis materialisme yang diajarkan oleh Karl Marx benar-benar dapat menjadi pisau analisis dalam memecahkan masalah-masalah sosial dari segi strukturalisme. Sebaliknya, mereka yang belajar Max Weber dan Talcott Parson, menjadikan teori mereka untuk memecahkan masalah-masalah sosial secara fungsional.

Pertanyaannya adalah mampukah filsafat hukum menjadi pisau analisis dalam menelaah masalah-masalah hukum dan sekaligus menjadi dasar bagi pembangunan argumentasi hukum untuk kebutuhan praktik hukum? Seharusnya memang demikian, jika yang diajarkan benar dan yang mengajarkan juga benar.

Filsafat hukum sangat berguna. Mereka yang bergerak di dunia praktis sehari-hari sangat memerlukan filsafat hukum. Begitu juga mereka yang merancang naskah akademis maupun yang juga berada di dunia akademis sangat membutuhkan filsafat hukum. Akan tetapi mereka tidak mendapatkannya dari mata kuliah filsafat hukum.

Memang, pada saat ini, pelajaran filsafat hukum identik dengan serangkaian nama filosof dari Plato sampai mungkin Roberto Mangabaira Unger dan aliran-alirannya. Mahasiswa tidak diberitahu untuk apa dan dalam rangka apa aliran itu disusun. Apakah relevansi menerangkan aliran-aliran itu dengan situasi yang dihadapi? Apakah konteks sosial politik pada saat dibangunnya aliran-aliran itu masih relevan untuk dibahas? Lalu, apakah proyeksi aliran-aliran itu untuk masa kini?

Ada kalanya pengajar tidak mampu membedakan antara filsafat dan filsafat hukum. Bahkan ada kalanya yang bukan merupakan filsafat hukum dimasukkan sebagai bagian dari filsafat hukum. Pandangan Jurgen Habermas, misalnya, kadang ditampilkan dan dipelajari sebagai filsafat hukum; Habermas memang seorang filosof, tetapi yang ia ajarkan bukan filsafat hukum. Sebaliknya, pandangan Lon L. Fuller dan Ronald Dworkin jarang dikemukakan. Mereka berdua adalah para penentang positivis baru H.L.A. Hart. Hal itu dapat terjadi karena kurang mampunya mereka membedakan antara filsafat sosial dan filsafat hukum.

Agar filsafat hukum tidak menjadi monster dan sekaligus menarik untuk dipelajari serta dibutuhkan mahasiswa perlu beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, sekalipun filsafat hukum meliputi prinsip-prinsip hukum dan masalah-masalah yang bersifat aksiologis, kedua hal itu tidak perlu diajarkan karena tidak bersangkut paut dengan kebutuhan calon sarjana hukum. Hal-hal itu dapat diajarkan dalam rangka penulisan disertasi doktor karena seorang doktor harus dapat membangun argumentasi baru bagi pengembangan keilmuan hukum. Kedua, dosen pengajarnya bukan hanya mengetahui teori saja, melainkan juga tahu tentang praktik meskipun ia sendiri mungkin bukan praktikus. Ketiga, dalam pembelajaran banyak dikemukakan contoh-contoh tentang undang-undang, putusan-putusan pengadilan, kontrak, tindakan administrasi, keputusan tata usaha negara, dll. Contoh-contoh itu dikemukakan menyertai pokok-pokok bahasan sehingga pembahasan tidak berada di awang-awang. Keempat, diskusi tentang pandangan-pandangan sarjana dalam konteks kekinian apakah masih relevan atau tidak. Apabila hal-hal semacam ini diikuti, mata kuliah filsafat hukum yang memang sulit akan dijadikan mudah dan tidak diawang-awang serta mempunyai relevansi dengan kebutuhan praktis.

Sumber :Prof. Peter Mahmud Marzuki (Guru Besar Fakultas Hukum Unair)

Published by dhanajournal.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

advertise your business here! ADVERTISE YOUR BUSINESS HERE! advertise your business here! ADVERTISE YOUR BUSINESS HERE! advertise your business here! ADVERTISE YOUR BUSINESS HERE! advertise your business here! ADVERTISE YOUR BUSINESS HERE! advertise your business here! ADVERTISE YOUR BUSINESS HERE! advertise your business here! ADVERTISE YOUR BUSINESS HERE! advertise your business here! ADVERTISE YOUR BUSINESS HERE! advertise your business here!