Seperti telah dikemukakan dalam kuliah umum Prof. Peter Mahmud Marzuki tentang Tempat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum maka kali ini akan kami sajikan paparan beliau tentang Arti Penting Filsafat Hukum bagi Penerapan dan Pembentukan Hukum.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pertama Bab ini bahwa filsafat hukum sangat berguna bagi mereka yang bergerak di dunia praktis sehari-hari dan penyusun naskah akademis Rancangan Undang-undang. Masalah sehari-hari adalah masalah penerapan hukum baik oleh eksekutif, hakim, maupun kuasa para fihak dalam bersengketa atau dalam melakukan hubungan hukum. Akan tetapi dalam masalah sehari-hari juga dimungkinkan adanya pembentukan hukum (rechtsconstructie) oleh hakim dalam kerangka penemuan hukum (rechtsvinding). Sedangkan penyusun naskah akademis suatu Rancangan Undang-undang biasanya adalah kalangan akadimisi yang bekerja sama dengan departemen atau instansi yang mengajukan RUU tersebut.
Sebenarnya baik penerapan hukum termasuk pembentukan hukum oleh hakim maupun penyusunan naskah akademis RUU merupakan konkritisasi tujuan hukum yang merupakan sesuatu yang ideal. Dalam Bab III buku saya Pengantar Ilmu Hukum, saya menyatakan bahwa damai sejahtera (peace) merupakan tujuan hukum. Saya kemukakan damai sejahtera sebagai tujuan hukum karena saya berpangkal pada kenyataan adanya perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan itu dapat bersifat materiil maupun immateriil.
Dalam suatu masyarakat sekecil apapun dan dalam keadaan berlimpah sekalipun, masih saja terdapat perbedaan dan perbedaan itu bukan tidak mungkin mengarah kepada perselisihan. Hanya saja perbedaan itu dikelola sedemikian rupa sehingga harmoni tetap dijaga dan perselisihan diselesaikan dengan mempertimbangkan keadaan masing-masing fihak. Sebagaimana dalam paduan suara terdapat suara sopran, alto, tenor, bariton, dan bas yang walaupun berbeda-beda apabila diaransir secara tepat akan menjadi suatu bunyi yang indah, demikian juga perbedaan-perbedaan dalam masyarakat tidak mungkin dihilangkan, melainkan diatata sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kesatuan yang elok.
Hal itu berbeda dengan situasi yang tertib (order). Tertib mempunyai makna tidak kacau. Situasi semacam itu dapat dicapai meskipun di dalamnya terdapat penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah atau adanya ketidakseimbangan perlindungan. Dalam situasi yang tertib mungkin secara agregat masyarakat itu makmur tetapi kemakmuran itu tidak dinikmati secara seimbang oleh setiap individu yang menjadi warga masyarakat itu. Di dalam kehidupan bermasyarakat semacam itu mungkin sekali terdapat kesenjangan. Sebaliknya, dalam situasi damai sejahtera, perbedaan selalu ada tetapi tidak sampai menimbulkan kesenjangan. Demikian juga, dalam suasana yang tertib, tidak dimungkinkan adanya perbedaan pendapat karena hal itu akan mengganggu ketertiban. Dalam situasi damai sejahtera, perbedaan pendapat diarahkan kepada pencapaian kualitas kehidupan yang lebih tinggi bukan dipadamkan. Oleh karena itulah dalam suatu masyarakat yang membutuhkan ketertiban, pemerintah akan bersikap represif dan otoriter.
Hukum harus dapat menciptakan damai sejahtera, bukan ketertiban. Damai sejahtera inilah yang merupakan tujuan hukum. Dalam situasi damai sejahtera hukum melindungi kepentingan-kepentingan manusia baik secara materiil maupun immateriil dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Mengenai kepentingan kepentingan yang ada dalam masyarakat ini, Roscoe Pound membedakan antara kepentingan pribadi, kepentingan publik, dan kepentingan sosial. Kepentingan pribadi berupa keinginan seseorang mengenai hal hal yang bersifat pribadi, misalnya perkawinan. Kepentingan publik bersangkut paut dengan kehidupan kenegaraan, misalnya hak pilih dalam pemilihan umum. Sedangkan kepentingan sosial menyangkut kehidupan sosial, misalnya pemeliharaan moral. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Roscoe Pound ini terlihat bahwa dalam menentukan kepentingan yang mana yang harus dilindungi oleh hukum, pertimbangan subjektif memagang peranan penting dengan mengingat faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, dan agama. Oleh karena itulah dapat difahami kalau L.J. van Apeldoorn menyatakan bahwa usulan mengenai daftar kepentingan yang dilindungi tidak lain dari pada usulan yang timbul dari agenda politik. Tidak dapat disangkal bahwa bahwa penilaian subjektif mewarnai pertimbangan kepentingan apa yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikorbankan. Dalam memutuskan hal itu tidak terdapat suatu ukuran yang bersifat objektif.
Meskipun tidak mungkin diperoleh ukuran yang benar-benar objektif artinya tidak terdapat subjektivitas sama sekali dalam memutuskan kepentingan mana yang diprioritaskan, setidak-tidaknya harus diperoleh ukuran yang mendekati objektivitas. Dalam hal inilah filsafat hukum dapat menjadi pedoman.
Untuk memperoleh gambaran mengenai hal itu perlu dikemukakan contoh. Misalnya, suatu aturan hukum menetapkan bahwa setiap penggunaan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah harus disetujui oleh Bupati atau Walikota; apabila tanpa persetujuan tersebut, tindakan itu merupakan tindakan korupsi. Pada hari Sabtu, saat tidak ada kantor, terjadi suatu gempa bumi; dalam hal demikian, aparat harus bertindak sigap untuk menolong korban dengan mengeluarkan dana, namun terdapat hambatan yuridis sebab apabila hal itu dilakukan, tindakan itu merupakan tindak korupsi. Dalam menghadapi situasi semacam itu filsafat hukum memberikan pedoman bahwa hukum dibuat untuk masyarakat bukan untuk hukum itu belaka. Oleh karena itulah dengan menggunakan konsep freiss ermessen atau discretionary power aparat tidak perlu menunggu persetujuan Bupati atau Walikota dalam mencairkan anggaran untuk menolong korban gempa bumi itu. Dalam hal demikian yang dipersoalkan bukan menurut hukum (rechtmatig) atau melanggar hukum (onrechtmatig), melainkan doelmatig artinya adakah tujuan yang lebih tinggi dari pada sekadar formalitas. Dalam kasus itu, dilihat dari sudut azas legalitas, suatu tindakan mencairkan dana APBD tanpa persetujuan Bupati atau Walikota merupakan suatu tindakan korupsi; akan tetapi azas legalitas tidak boleh mengalahkan tujuan yang secara substansial lebih tinggi, yaitu menyelamatkan nyawa manusia. Di sinilah arti penting filsafat hukum.
Contoh lain yang menunjukkan arti penting filsafat hukum dalam praktik sehari-hari adalah suatu kasus yang unik Riggs v Palmer yang biasanya disebut kasus Elmer. Di dalam kasus itu Elmer membunuh kakeknya dengan cara meracuni orang tua itu karena ia curiga bahwa sang kakek akan mengubah testamen yang telah dibuatnya karena kakek tersebut kawin lagi. Di dalam testamen tersebut dinyatakan bahwa Elmer mewarisi sejumlah harta. Elmer kemudian dinyatakan bersalah dan dipidana penjara untuk jangka waktu tertentu. Anak-anak perempuan sang kakek yang masih hidup menggugat pengurus testamen atas dasar Elmer tidak layak untuk mewarisi harta ayah mereka karena membunuh si pembuat testamen. Di negara bagian New York tidak terdapat ketentuan seperti pasal 912 Burgerlijk Wetboek Indonesia yang berbunyi:
Orang yang dijatuhi hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat pewaris, atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya, serta istri atau suaminya dan anak-anaknya, tidak boleh menikmati suatu keuntungan pun dari wasiat itu.
Dengan tidak adanya ketentuan semacam itu di negara bagian New York, dapat saja pengadilan itu memutuskan Elmer berhak atas harta yang tertuang di dalam surat wasiat itu. Apabila hal itu yang terjadi, berlakulah pandangan bahwa apabila tidak dilarang berarti dibolehkan. Namun, pengadilan New York berdasarkan suara mayoritas memutuskan bahwa Elmer tidak boleh menikmati harta yang diwasiatkan dalam testamen itu. Putusan pada kasus itu mencerminkan bahwa pengadilan New York mengacu kepada nilai yang lebih tinggi dari sekadar mengacu kepada ada tidaknya ketentuan perundang-undangan. Dalam hal ini pengadilan itu berpegang kepada prinsip bahwa seseorang tidak boleh mendapat keuntungan dari kejahatannya.
Dari putusan itu dapat diperoleh suatu pemikiran bahwa apabila sesuatu tidak dilarang bukan berarti bahwa sesuatu itu dibolehkan. Pengadilan New York telah memberikan bingkai untuk sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Bingkai itu bukan berupa aturan hukum, melainkan berupa suatu nilai kepatutan. Nilai inilah yang dijadikan landasan pengadilan New York untuk melarang pembunuh pemberi testamen menikmati isi testamen yang menguntungkan pembunuh.
Suatu kasus sejenis yang perlu juga dikemukakan sebagai contoh adalah kasus Henningsen v Bloomfield di negara bagian New Jersey. Dalam kasus itu, Henningsen membeli sebuah mobil berdasarkan suatu kontrak yang mengandung klausula bahwa tanggung gugat produsen hanya sebatas memperbaiki bagian-bagian yang cacat dan selebihnya produsen tidak bertanggung gugat. Akan tetapi kemudian terjadi kecelakaan dan ia menggugat produsen untuk minta biaya pengobatan meskipun ia tahu dalil untuk mengajukan gugatan itu tidak terdapat dalam klausula kontrak yang telah ia sepakati. Ternyata, pengadilan New Jersey mengabulkan gugatan Henningsen dan berpendapat bahwa berdasarkan kepatutan, produsen mobil harus bertanggung gugat atas cacat mobil yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Dari putusan itu, sekali lagi menunjukkan bahwa bukan ketentuan-ketentuan yang secara formal tertuang di dalam kontrak yang dijadikan acuan oleh pengadilan, melainkan kepatutan. Dalam hal inipun filsafat hukum memberi pedoman, yaitu dalam hubungan antara seorang individu dengan individu lainnya.
Dalam rangka penyusunan naskah akademis RUU pun juga tidak dapat dilepaskan dari tujuan hukum, yaitu damai sejahtera. Naskah akademis tersebut harus dapat menjabarkan tujuan itu sampai kepada ketentuan-ketentuan yang operasional. Konsiderans “Menimbang” dalam suatu undang-undang sebenarnya merupakan suatu gagasan yang bersifat konkrit perlunya dibuat undang-undang itu. Gagasan dasar biasanya yang diambil dari naskah akademis biasanya dimuat dalam Penjelasan Umum.
Penjelasan Umum suatu undang-undang berisi pemikiran yang bersifat filosofis. Sebagai contoh dikemukakan petikan Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai berikut:
... Penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha ...
Published by dhanajournal.blogspot.com
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pertama Bab ini bahwa filsafat hukum sangat berguna bagi mereka yang bergerak di dunia praktis sehari-hari dan penyusun naskah akademis Rancangan Undang-undang. Masalah sehari-hari adalah masalah penerapan hukum baik oleh eksekutif, hakim, maupun kuasa para fihak dalam bersengketa atau dalam melakukan hubungan hukum. Akan tetapi dalam masalah sehari-hari juga dimungkinkan adanya pembentukan hukum (rechtsconstructie) oleh hakim dalam kerangka penemuan hukum (rechtsvinding). Sedangkan penyusun naskah akademis suatu Rancangan Undang-undang biasanya adalah kalangan akadimisi yang bekerja sama dengan departemen atau instansi yang mengajukan RUU tersebut.
Sebenarnya baik penerapan hukum termasuk pembentukan hukum oleh hakim maupun penyusunan naskah akademis RUU merupakan konkritisasi tujuan hukum yang merupakan sesuatu yang ideal. Dalam Bab III buku saya Pengantar Ilmu Hukum, saya menyatakan bahwa damai sejahtera (peace) merupakan tujuan hukum. Saya kemukakan damai sejahtera sebagai tujuan hukum karena saya berpangkal pada kenyataan adanya perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan itu dapat bersifat materiil maupun immateriil.
Dalam suatu masyarakat sekecil apapun dan dalam keadaan berlimpah sekalipun, masih saja terdapat perbedaan dan perbedaan itu bukan tidak mungkin mengarah kepada perselisihan. Hanya saja perbedaan itu dikelola sedemikian rupa sehingga harmoni tetap dijaga dan perselisihan diselesaikan dengan mempertimbangkan keadaan masing-masing fihak. Sebagaimana dalam paduan suara terdapat suara sopran, alto, tenor, bariton, dan bas yang walaupun berbeda-beda apabila diaransir secara tepat akan menjadi suatu bunyi yang indah, demikian juga perbedaan-perbedaan dalam masyarakat tidak mungkin dihilangkan, melainkan diatata sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kesatuan yang elok.
Hal itu berbeda dengan situasi yang tertib (order). Tertib mempunyai makna tidak kacau. Situasi semacam itu dapat dicapai meskipun di dalamnya terdapat penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah atau adanya ketidakseimbangan perlindungan. Dalam situasi yang tertib mungkin secara agregat masyarakat itu makmur tetapi kemakmuran itu tidak dinikmati secara seimbang oleh setiap individu yang menjadi warga masyarakat itu. Di dalam kehidupan bermasyarakat semacam itu mungkin sekali terdapat kesenjangan. Sebaliknya, dalam situasi damai sejahtera, perbedaan selalu ada tetapi tidak sampai menimbulkan kesenjangan. Demikian juga, dalam suasana yang tertib, tidak dimungkinkan adanya perbedaan pendapat karena hal itu akan mengganggu ketertiban. Dalam situasi damai sejahtera, perbedaan pendapat diarahkan kepada pencapaian kualitas kehidupan yang lebih tinggi bukan dipadamkan. Oleh karena itulah dalam suatu masyarakat yang membutuhkan ketertiban, pemerintah akan bersikap represif dan otoriter.
Hukum harus dapat menciptakan damai sejahtera, bukan ketertiban. Damai sejahtera inilah yang merupakan tujuan hukum. Dalam situasi damai sejahtera hukum melindungi kepentingan-kepentingan manusia baik secara materiil maupun immateriil dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Mengenai kepentingan kepentingan yang ada dalam masyarakat ini, Roscoe Pound membedakan antara kepentingan pribadi, kepentingan publik, dan kepentingan sosial. Kepentingan pribadi berupa keinginan seseorang mengenai hal hal yang bersifat pribadi, misalnya perkawinan. Kepentingan publik bersangkut paut dengan kehidupan kenegaraan, misalnya hak pilih dalam pemilihan umum. Sedangkan kepentingan sosial menyangkut kehidupan sosial, misalnya pemeliharaan moral. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Roscoe Pound ini terlihat bahwa dalam menentukan kepentingan yang mana yang harus dilindungi oleh hukum, pertimbangan subjektif memagang peranan penting dengan mengingat faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, dan agama. Oleh karena itulah dapat difahami kalau L.J. van Apeldoorn menyatakan bahwa usulan mengenai daftar kepentingan yang dilindungi tidak lain dari pada usulan yang timbul dari agenda politik. Tidak dapat disangkal bahwa bahwa penilaian subjektif mewarnai pertimbangan kepentingan apa yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikorbankan. Dalam memutuskan hal itu tidak terdapat suatu ukuran yang bersifat objektif.
Meskipun tidak mungkin diperoleh ukuran yang benar-benar objektif artinya tidak terdapat subjektivitas sama sekali dalam memutuskan kepentingan mana yang diprioritaskan, setidak-tidaknya harus diperoleh ukuran yang mendekati objektivitas. Dalam hal inilah filsafat hukum dapat menjadi pedoman.
Untuk memperoleh gambaran mengenai hal itu perlu dikemukakan contoh. Misalnya, suatu aturan hukum menetapkan bahwa setiap penggunaan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah harus disetujui oleh Bupati atau Walikota; apabila tanpa persetujuan tersebut, tindakan itu merupakan tindakan korupsi. Pada hari Sabtu, saat tidak ada kantor, terjadi suatu gempa bumi; dalam hal demikian, aparat harus bertindak sigap untuk menolong korban dengan mengeluarkan dana, namun terdapat hambatan yuridis sebab apabila hal itu dilakukan, tindakan itu merupakan tindak korupsi. Dalam menghadapi situasi semacam itu filsafat hukum memberikan pedoman bahwa hukum dibuat untuk masyarakat bukan untuk hukum itu belaka. Oleh karena itulah dengan menggunakan konsep freiss ermessen atau discretionary power aparat tidak perlu menunggu persetujuan Bupati atau Walikota dalam mencairkan anggaran untuk menolong korban gempa bumi itu. Dalam hal demikian yang dipersoalkan bukan menurut hukum (rechtmatig) atau melanggar hukum (onrechtmatig), melainkan doelmatig artinya adakah tujuan yang lebih tinggi dari pada sekadar formalitas. Dalam kasus itu, dilihat dari sudut azas legalitas, suatu tindakan mencairkan dana APBD tanpa persetujuan Bupati atau Walikota merupakan suatu tindakan korupsi; akan tetapi azas legalitas tidak boleh mengalahkan tujuan yang secara substansial lebih tinggi, yaitu menyelamatkan nyawa manusia. Di sinilah arti penting filsafat hukum.
Contoh lain yang menunjukkan arti penting filsafat hukum dalam praktik sehari-hari adalah suatu kasus yang unik Riggs v Palmer yang biasanya disebut kasus Elmer. Di dalam kasus itu Elmer membunuh kakeknya dengan cara meracuni orang tua itu karena ia curiga bahwa sang kakek akan mengubah testamen yang telah dibuatnya karena kakek tersebut kawin lagi. Di dalam testamen tersebut dinyatakan bahwa Elmer mewarisi sejumlah harta. Elmer kemudian dinyatakan bersalah dan dipidana penjara untuk jangka waktu tertentu. Anak-anak perempuan sang kakek yang masih hidup menggugat pengurus testamen atas dasar Elmer tidak layak untuk mewarisi harta ayah mereka karena membunuh si pembuat testamen. Di negara bagian New York tidak terdapat ketentuan seperti pasal 912 Burgerlijk Wetboek Indonesia yang berbunyi:
Orang yang dijatuhi hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat pewaris, atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya, serta istri atau suaminya dan anak-anaknya, tidak boleh menikmati suatu keuntungan pun dari wasiat itu.
Dengan tidak adanya ketentuan semacam itu di negara bagian New York, dapat saja pengadilan itu memutuskan Elmer berhak atas harta yang tertuang di dalam surat wasiat itu. Apabila hal itu yang terjadi, berlakulah pandangan bahwa apabila tidak dilarang berarti dibolehkan. Namun, pengadilan New York berdasarkan suara mayoritas memutuskan bahwa Elmer tidak boleh menikmati harta yang diwasiatkan dalam testamen itu. Putusan pada kasus itu mencerminkan bahwa pengadilan New York mengacu kepada nilai yang lebih tinggi dari sekadar mengacu kepada ada tidaknya ketentuan perundang-undangan. Dalam hal ini pengadilan itu berpegang kepada prinsip bahwa seseorang tidak boleh mendapat keuntungan dari kejahatannya.
Dari putusan itu dapat diperoleh suatu pemikiran bahwa apabila sesuatu tidak dilarang bukan berarti bahwa sesuatu itu dibolehkan. Pengadilan New York telah memberikan bingkai untuk sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Bingkai itu bukan berupa aturan hukum, melainkan berupa suatu nilai kepatutan. Nilai inilah yang dijadikan landasan pengadilan New York untuk melarang pembunuh pemberi testamen menikmati isi testamen yang menguntungkan pembunuh.
Suatu kasus sejenis yang perlu juga dikemukakan sebagai contoh adalah kasus Henningsen v Bloomfield di negara bagian New Jersey. Dalam kasus itu, Henningsen membeli sebuah mobil berdasarkan suatu kontrak yang mengandung klausula bahwa tanggung gugat produsen hanya sebatas memperbaiki bagian-bagian yang cacat dan selebihnya produsen tidak bertanggung gugat. Akan tetapi kemudian terjadi kecelakaan dan ia menggugat produsen untuk minta biaya pengobatan meskipun ia tahu dalil untuk mengajukan gugatan itu tidak terdapat dalam klausula kontrak yang telah ia sepakati. Ternyata, pengadilan New Jersey mengabulkan gugatan Henningsen dan berpendapat bahwa berdasarkan kepatutan, produsen mobil harus bertanggung gugat atas cacat mobil yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Dari putusan itu, sekali lagi menunjukkan bahwa bukan ketentuan-ketentuan yang secara formal tertuang di dalam kontrak yang dijadikan acuan oleh pengadilan, melainkan kepatutan. Dalam hal inipun filsafat hukum memberi pedoman, yaitu dalam hubungan antara seorang individu dengan individu lainnya.
Dalam rangka penyusunan naskah akademis RUU pun juga tidak dapat dilepaskan dari tujuan hukum, yaitu damai sejahtera. Naskah akademis tersebut harus dapat menjabarkan tujuan itu sampai kepada ketentuan-ketentuan yang operasional. Konsiderans “Menimbang” dalam suatu undang-undang sebenarnya merupakan suatu gagasan yang bersifat konkrit perlunya dibuat undang-undang itu. Gagasan dasar biasanya yang diambil dari naskah akademis biasanya dimuat dalam Penjelasan Umum.
Penjelasan Umum suatu undang-undang berisi pemikiran yang bersifat filosofis. Sebagai contoh dikemukakan petikan Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai berikut:
... Penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha ...
Published by dhanajournal.blogspot.com
No comments:
Post a Comment